![]() |
"Untuk kasus yang memang dimunculkan adalah sesuatu hal benar (berita), wartawannya juga tidak boleh diproses kalau memang informasi itu benar, bukan fitnah," kata Komjen Agus.
Ia menjelaskan bahwa prinsip ini sejalan dengan Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri dengan Dewan Pers yang telah diperbaharui. Dalam MoU tersebut, Polri berkomitmen untuk mematuhi kesepakatan terkait persoalan pemberitaan selama produk tersebut merupakan hasil jurnalistik yang sah dan diakui oleh Dewan Pers.
Dalam penerapan Undang-undang ITE, Komjen Agus menyebutkan bahwa mekanisme Dewan Pers dan aturan yang diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers harus dilalui terlebih dahulu.
“Penegakan hukum menjadi pintu terakhir setelah dilakukan klarifikasi dan upaya mediasi. Jika semua upaya sudah ditempuh dan tidak ada solusi, baru diputuskan apakah penyelidikannya dilanjutkan atau tidak,” ujar mantan Kapolda Sumatera Utara itu.
Komjen Agus juga menyampaikan kepada Kapolda Sulsel Irjen Pol Andi Rian R Djajadi bahwa penerapan Undang-undang ITE harus dilakukan dengan sangat selektif setelah berbagai upaya mediasi, baik yang dilaporkan oleh korban atau pihak lainnya.
“Jika tidak cukup bukti tentu tidak bisa diteruskan. Saya yakin pak Kapolda Andi Rian ini bisa menyelesaikan, karena cukup lama bersama saya (tugas) di Sumatera Utara. Jadi saya paham betul watak beliau,” tambahnya.
Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Irjen Pol Dedi Prasetyo juga menekankan perbedaan antara media sosial dan media pers. Menurutnya, media sosial tidak bisa dikonfirmasi maupun diklarifikasi, sedangkan media massa dari perusahaan pers dapat dikonfirmasi dan diminta klarifikasi apabila terjadi kekeliruan dalam pemberitaan sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Semua produk yang dihasilkan oleh media dilindungi undang-undang. Produk jurnalistik harus bisa dipertanggungjawabkan baik diklarifikasi maupun dikonfirmasi,” ujar Dedi.
Brigjen Pol Iwan Kurniawan, Karowasdik Bareskrim Polri, menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak boleh dipidana karena telah melalui proses assessment, verifikasi, dan konfirmasi oleh Dewan Pers.
“Dewan Pers yang menilai dan melakukan diskusi serta tahapan-tahapan. Produk jurnalistik dari perusahaan pers yang terdaftar tidak bisa dipidana,” jelas Iwan.
Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya, Djoko Agung Heryadi, menambahkan bahwa Undang-Undang ITE tidak membelenggu kebebasan pers tetapi justru memberikan perlindungan bagi insan pers dalam menjalankan tugas jurnalistik berdasarkan Undang-Undang Pers.
“Pasal 27 ayat (3) UU ITE memberikan perlindungan bagi wartawan karena adanya unsur ‘dengan sengaja dan tanpa hak’. Wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistiknya sesuai dengan UU No.40/1999 tentang Pers dilindungi haknya,” kata Agung.
Ia juga menekankan bahwa pembatasan dalam cyber space di Indonesia bertujuan untuk melindungi HAM dan menjaga moral bangsa, serta melindungi masyarakat dari penipuan online dan konten berbahaya lainnya.
[Redaksi]
COMMENTS